5.1. Pengertian Inflasi
Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai di
hampir semua negara di dunia adalah inflasi. Definisi singkat dari inflasi
adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali
bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian
besar dari harga barang-barang lain. Syarat adanya kecenderungan menaik yang
terus-menerus juga perlu diingat. Kenaikan harga-harga karena, musiman,
menjelang hari-hari besar, atau yang terjadi sekali saja (dan tidak mempunyai
pengaruh lanjutan) tidak disebut inflasi. Kenaikan harga semacam ini tidak
dianggap sebagai masalah atau “penyakit” ekonomi dan tidak memerlukan
kebijaksanaan khusus untuk menanggulanginya.
Perkataan “kecenderungan” dalam definisi inflasi perlu digaris bawahi.
Kalau seandainya harga-harga dari sebagian besar barang diatur atau ditentukan
oleh pemerintah, maka harga-harga yang dicatat oleh Biro Statistik mungkin
tidak menunjukkan kenaikan apa pun (karena yang dicatat adalah harga-harga
“resmi” pemerintah). Tetapi mungkin dalam realita ada kecenderungan bagi
harga-harga untuk terus menaik. Keadaan seperti ini tercermin dari adanya
harga-harga “bebas” atau harga-harga “tidak resmi” yang lebih tinggi dari
harga-harga “resmi” dan yang cenderung menaik. Dalam hal ini masalah inflasi
sebetulnya ada, tetapi tidak diperkenankan untuk menunjukkan dirinya. Keadaan
seperti ini disebut suppressed inflation atau ” inflasi yang ditutupi”,
yang pada suatu waktu akan timbul dan menunjukkan dirinya karena harga-harga
resmi makin tidak relevan dalam kenyataan.
5. 2. Macam Inflasi
Ada tiga cara untuk menggolongkan inflasi dan yang dipilih tergantung
pada tujuan seperti diuraikan berikut ini.
(1). Didasarkan atas “parah” tidaknya inflasi tersebut.
Di sini, inflasi atas dasar kadar keparahan dibedakan menjadi beberapa
macam inflasi sebagai berikut.
1). Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
2). Inflasi
sedang (antara 10 – 30% setahun)
3). Inflasi
Berat (antara 30 – 100% setahun)
4). Hiper
inflasi (di atas 100% setahun).
Penentuan parah tidaknya inflasi, sangat relatif dan tergantung pada
“selera” yang menamakannya. Menentukan parah tidaknya inflasi tidak bisa hanya
dari sudut laju inflasi saja tanpa mempertimbangkan pihak yang menaggung beban
atau yang memperoleh keuntungan dari inflasi tersebut. Bila laju inflasi adalah
20% dan semuanya berasal dari kenaikan harga barang yang dibeli oleh golongan
berpenghasilan rendah, maka dinamakan inflasi yang parah.
(2). Penyebab Awal Terjadinya Inflasi.
Penyebab awal terjadinya inflasi dibedakan menjadi dua yaitu:
1). Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang
terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand inflation.
2). Inflasi
yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Ini disebut cost inflation.
Gambar berikut ini menggarisbawahi perbedaan kedua macam inflasi ini.
Gambar 5.1.a menunjukkan suatu demand inflation. Karena permintaan masyarakat
akan barang-barang (aggregate demand) bertambah (misalnya, karena
bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau
karena kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor, dan karena
bertambahnya pengeluaran investasi swasta akibat kredit murah), maka kurva aggregate
demand bergeser dari D1 ke D2. Akibatnya tingkat
harga umum naik dari H1 ke H2
Pada gambar 5.1.b. kita lihat bahwa bila biaya produksi naik (misalnya,
karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri, atau
kenaikan harga bahan bakar minyak), maka kurva penawaran masyarakat (aggregate
supply) bergeser dari S1 ke S2. Akibat dari kedua
macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output, tidak berbeda,
tetapi dari segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand
inflation, biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil) menaik
bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya kenaikan output
ini tergantung kepada elastisitas kurva aggregate supply ; semakin
mendekati output maksimum semakin tidak elastis kurva ini. Sebaliknya, dalam
kasus cost inflation, kenaikan harga-harga barang pada umumnya dibarengi
dengan penurunan omzet penjualan barang, akibat dari “kelesuan usaha”.
Perbedaan yang lain dari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan
dari kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir
(output) mendahului kenaikan harga barang-barang input dan harga-harga
faktor produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya, dalam cost inflation
kita melihat kenaikan harga barang-barang input dan harga-harga faktor produksi
mendahului kenaikan harga barang-barang akhir (output).
Kedua macam inflasi ini jarang sekali dijumpai dalam praktek atau dalam
bentuknya yang murni. Pada umumnya, inflasi yang terjadi adalah kombinasi dari
kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu
sama lain.
(3). Berdasarkan Asal Terjadinya Inflasi.
Penggolongan ketiga adalah berdasarkan asal dari inflasi, yaitu:
1). Inflasi
yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)
2). Inflasi
yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul karena terjadi defisit
anggaran belanja yang dibiayai oleh pemerintah dengan pencetakan uang baru, karena
panenan gagal dan akibat-akibat lain sebagainya. Inflasi yang berasal dari luar
negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga (yaitu, inflasi)
di luar negeri atau di negara-negara langganan berdagang kita. Kenaikan harga
barang-barang yang kita impor mengakibatkan: (1) secara langsung kenaikan
indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang yang tercakup di dalamnya
berasal dari impor, (2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga melalui
kenaikan biaya produksi (dan kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang
menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin impor (cost inflation), (3)
secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena
kemungkinan (tetapi ini tidak demikian) kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan
kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha megimbangi kenaikan harga
impor tersebut (demand inflation).
“Penularan” inflasi luar negeri ke dalam negeri bisa lewat kenaikan harga
barang ekspor, dan saluran-salurannya hanya sedikit berbeda dengan penularan
lewat kenaikan harga barang-barang impor. Penularan inflasi ini terdiri dari
seperti berikut.
1). Bila harga barang-barang ekspor (seperti kopi, teh, minyak kelapa
sawit, dan lain-lainnya) naik, maka indeks biaya hidup akan naik pula yang
disebabkan barang-barang langsung masuk ke daftar barang-barang yang tercakup
dalam indeks harga.
2). Bila harga barang-barang ekspor (seperti kayu, karet, timah, dan
sebagainya) naik, maka biaya produksi yang menggunakan barang-barang tersebut dalam
proses produksinya (seperti perumahan, sepatu, kaleng, dan sebagainya) menjadi
naik. Kemudian harga jualnya akan naik pula (cost inflation).
3). Kenaikan
harga barang-barang ekspor, berarti menaikkan penghasilan para eksportir dan
para produsen barang-barang ekspor tersebut akan naik pula. Kenaikan
penghasilan mereka, akan mereka belanjakan untuk membeli barang-barang, baik
barang dari dalam maupun dari luar negeri. Bila jumlah barang yang tersedia di
pasar tidak bertambah, mengakibatkan harga barang-barang lain menjadi naik pula
(demand inflation). Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri
lebih mudah terjadi pada negera-negara yang perekonomiannya terbuka,
yaitu bagi negara yang sektor perdagangan luar negerinya dianggap penting
(seperti Indonesia, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan sebagainya). Namun,
seberapa jauh penularan inflasi tersebut bisa terjadi? Tergantung dari
kebijaksanaan pemerintah yang diambil. Dengan berbagai kebijaksanaan moneter
dan berbagai kebijaksanaan perpajakan tertentu, pemerintah bisa menetralisir
kecenderungan inflasi yang berasal dari luar negeri tersebut.
5. 3. Mengapa Inflasi Timbul?
Sebelumnya telah dikenalkan
definisi “inflasi”. Semata-mata sebagai suatu gejolak ekonomi. Artinya, sebagai
kecenderungan naiknya harga-harga barang. Sampai batas tertentu, masih bisa
menganalisis sebab-sebab timbulnya inflasi, khususnya dari segi ekonomis.
Penentuan sebab-sebab “ekonomi obyektif” ini seringkali bukanlah tugas yang
paling sukar. Dalam praktek, untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya inflasi
adalah masalah yang sulit dan pelik. Terutama inflasi yang kronis. Bahkan
inflasi yang telah berjalan sangat sulit untuk menanggulanginya. Biasanya,
langkah penanggulannya, harus melampaui batas-batas ilmu ekonomi. Artinya,
terpaksa memasuki bidang ilmu sosiologi dan ilmu politik.
Masalah inflasi dalam arti lebih luas, bukan semata-mata merupakan masalah
ekonomi, tetapi masalah “sosio – ekonomi – politis”. Ilmu ekonomi membantu
untuk mengidentifikasi sebab-sebab “obyektif” dari inflasi. Misalnya,
identifikasi kebijakan pemerintah mencetak uang terlalu banyak sebagai salam
satu faktor penyebab timbulnya inflasi. Timbul pertanyaan, mengapa pemerintah
terus mencetak uang, meskipun mereka tahu bahwa tindakan tersebut mengakibatkan
inflasi? Jawabannya adalah, terletak pada “sosial – politik”. Sosio politik di
sini bisa dikategorikan menjadi tiga sebab seperti berikut ini.
1). Karena
pemerintah membutuhkan uang untuk operasi keamanan, karena adanya pertarungan
politik di antara golongan-golongan politik di dalam negeri.
2). Karena
pemerintah tak berdaya menghadapi tuntutan politik golongan-golongan masyarakat
tertentu yang menghendaki “bagian” dari anggaran belanja negara yang lebih
banyak daripada yang disediakan dari sumber-sumber penerimaan negara.
3). Karena
desakan-desakan golongan masyarakat tertentu untuk memperoleh kredit murah
sehingga jumlah kredit yang harus disediakan melebihi dari jumlah yang bisa
menjamin kestabilan harga.
Untuk bisa
menghentikan kelebihan jumlah uang beredar maka, perlu dicapai penyelesaian
politis terlebih dahulu. Bentuk faktor-faktor sosial-politis yang menlandasi
inflasi, bisa terjadi dalam berbagai ragam. Keanekaragaman faktor-faktor sosial
politis tersebut, ditentukan oleh “tata sosial-politis” masing-masing negara.
Ahli ekonomi biasanya lebih suka memusatkan perhatiannya pada faktor ekonomis
obyektif karena, selain ahli ekonomi itu merasa bahwa “faktor ekonomis
obyektif” adalah bidang kompetensinya, juga karena “faktor ekonomis obyektif”
tersebut dapat berlaku umum bagi semua negara yang dengan tatanan
sosial-politiknya berbeda.
Teori-teori
ekonomi mengenai inflasi, lebih memusat pada dalil-dalil umum yang berlaku
secara umum. Ini tidak berarti, ahli ekonomi tidak perlu menyelidiki lebih
mendalam tentang faktor-faktor sosial-politik dari inflasi. Kalau mereka, para
ahli ekonomi, ingin berguna dalam hal menentukan kebijaksanaan yang tepat untuk
menanggulangi masalah inflasi di suatu negara, maka mereka harus bisa mencapai
“akar” dari permasalahan tersebut, yang belum tentu bersifat ekonomis-obyektif.
Namun, teori-teori ekonomi mengenai inflasi berguna sebagai titik tolak dari
setiap analisis mengenai inflasi.
Secara garis besar, ada tiga kelompok teori mengenai inflasi yang
masing-masing menyoroti aspek proses inflasi, dan masing-masing menyoroti aspek
“bukan teori inflasi yang lengkap” mencakup semua aspek proses kenaikan harga.
Untuk menerapkan teori inflasi, harus bisa menentukan aspek-aspek mana yang
penting secara nyata dalam proses inflasi di suatu negara. Apakah teori yang
ini atau teori yang itu, atau apakah dengan kombinasi dari teori-teori yang ini
bersama dengan teori yang itu yang lebih cocok untuk diterapkan?. Jawabannya,
tergantung daripada penguasaan terhadap teori-teori inflasi, baru kemudian
menerapkannya.
5.3.1. Teori Kuantitas mengenai inflasi
Teori yang
paling tua, namun teori ini, (yang akhir-akhir ini mengalami
penyempurnaan-penyempernaan oleh kelompok ahli ekonomi Universitas Chicago),
masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern ini,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini menyoroti peranan
dalam proses inflasi dari: (a) jumlah uang yang beredar, dan (b) psikologi
masyarakat mengenai kenaikan harga-harga diharapkan (expectations). Inti
dari teori ini adalah sebagai uraian berikut ini.
(1). Inflasi
terjadi akibat bertambahnya jumlah uang beredar.Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume jumlah uang yang
beredar (apakah berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak
menjadi soal). Tanpa ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti
(misalnya, kegagalan panen), hanya akan menaikkan harga-harga untuk sementara
waktu saja. Penambahan jumlah uang yang menyebabkan terjadi inflasi, ibarat
“bahan bakar” untuk membesarnya kobaran api. Bila jumlah uang tidak ditambah,
inflasi akan berhenti dengan sendirinya, apa pun faktor penyebab yang lain
untuk timbulnya inflasi, penyebab yang paling awal akan terjadinya inflasi
adalah kenaikan harga.
(2).
Laju inflasi terjadi karena kenaikan harga. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar
dan oleh psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang.
Kenaikan harga-harga di masa mendatang, meliputi tiga kemungkinan keadaan yaitu
sebagai berikut.
(a). Masyarakat
tidak mengharap kenaikan harga.
Bila masyarakat
tidak (atau belum) mengharapkan harga-harga naik pada bulan-bulan mendatang.
Dalam hal ini, sebagian besar penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima
oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya (memperbesar pos kas dalam
buku neraca anggota masyarakat). In berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan
jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Selanjutnya,
ini berarti bahwa tidak akan ada kenaikan permintaan yang berarti akan
barang-barang, jadi tidak ada kenaikan harga barang-barang (atau harga-harag
mungkin naik sedikit sekali). Keadaan seperti ini, kenaikan jumlah uang yang
beredar 10% diikuti oleh kenaikan harga sebesar, misalnya 1%. Keadaan ini
biasanya dijumpai pada waktu inflasi masih baru mulai dan masyarakat masih
belum sadar bahwa inflasi sedang berlangsung.
(b). Masyarakat
mulai menyadari adanya inflasi.
Masyarakat
(atas dasar pengalaman di bulan-bulan sebelumnya) mulai sadar bahwa ada
inflasi. Orang-orang mulai mengharapkan kenaikan harga. Penambahan jumlah uang
yang beredar tidak lagi diterima oleh masyarakat untuk menambah pos kasnya,
tetapi akan digunakan untuk membeli barang-barang (memperbesar pos aktiva barang-barang
di dalam neraca). Hal ini dilakukan karena orang-orang berusaha untuk
menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka memegang uang tunai.
Kenaikan harga (inflasi) tidak lain adalah suatu “pajak”, ini dengan jalan
mengubah saldo kasnya menjadi barang. Orang secara perseorangan bisa melakukan
penyesuaian dalam neracanya seperti ini, yaitu dengan jalan membelanjakan uang
kasnya untuk membeli barang-barang. Dari segi masyarakat secara keseluruhan hal
ini berarti adanya kenaikan permintaan akan barang-barang. Akibat selanjutnya
adalah naiknya harga barang-barang tersebut. Bila masyarakat mengharapkan
harga-harga untuk naik pada masa mendatang sebesar laju inflasi di bulan-bulan
yang lalu, maka kenaikan jumlah uang yang beredar akan sepenuhnya diterjemahkan
menjadi kenaikan permintaan akan barang-barang. Dalam hal ini kenaikan jumlah
uang sebesar misalnya, 10%, akan diikuti dengan kenaikan harga barang-barang
mungkin sebesar 10% pula. Keadaan seperti ini biasanya dijumpai pada waktu
inflasi sudah berjalan cukup lama, dan orang-orang mempunyai cukup waktu untuk
menyesuaikan sikapnya terhadap situasi yang baru.
(c). Masyarakat
kehilangan kepercayaan atas nilai uang.
Pada tahap
inflasi yang lebih parah yaitu tahap hiper inflasi, masyarakat sudah kehilangan
kepercayaannya terhadap nilai mata uang. Keengganan untuk memegang uang kas
tersebut diterima di tangan menjadi semakin luas dikalangan masyarakat. Orang
cenderung mengharapkan keadaan semakin memburuk: laju inflasi untuk bulan-bulan
mendatang diharapkan menjadi semakin besar dibanding dengan laju inflasi di
bulan sebelumnya. Keadaan ini ditandai oleh makin cepatnya peredaran uang (velocity
of circulation) yang menaik. Dalam keadaan ini kenaikan jumlah uang beredar
sebesar, misalnya, 20% akan mengakibatkan kenaikan harga-harga lebih besar dari
20%. Inflasi semacam ini pernah terjadi di Indonesia selama periode tahun 1961
– 1966. Hiper inflasi menghancurkan bukan hanya sendi-sendi ekonomi-moneter
tetapi juga sendi-sendi sosial-politik dari suatu masyarakat. Struktur masyarakat
yang baru akan timbul menggantikan struktur yang lama.
5.3.2. Teori Keynesmengenai inflasi
Berdasarkan
teori makro, dalam menyoroti aspek lain dari inflasi, maka inflasi terjadi
karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses
inflasi, menurut pandangan ini, tidak lain adalah proses perebutan bagian
rezeki di antara kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian lebih
besar daripada yang disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan ini
akhirnya menjadi permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi
jumlah barang-barang yang tersedia (timbulnya apa yang disebut dengan inflationary
gap).
(1).
Inflationary gap Inflationary gap
Timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang. Dengan lain perkataan, mereka berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat ini mungkin pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian yang lebih luas dari output masyarakat dengan cara menjalankan defisit anggaran belanjanya yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut mungkin juga para pengusaha swasta yang ingin melakukan investasi-investasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari kredit bank. Golongan tersebut bisa pula serikat buruh yang berusaha memperoleh kenaikan gaji bagi anggota-anggotanya melebihi kenaikan produktivitas buruh.
Timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang. Dengan lain perkataan, mereka berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat ini mungkin pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian yang lebih luas dari output masyarakat dengan cara menjalankan defisit anggaran belanjanya yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut mungkin juga para pengusaha swasta yang ingin melakukan investasi-investasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari kredit bank. Golongan tersebut bisa pula serikat buruh yang berusaha memperoleh kenaikan gaji bagi anggota-anggotanya melebihi kenaikan produktivitas buruh.
Bila jumlah
dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan masyarakat tersebut,
pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah maksimum dari barang-barang
yang dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap timbul. Karena
permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-harga akan
naik. Adanya kenaikan harga-harga ini berarti bahwa sebagaian dari
rencana-rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak bisa
terpenuhi. Pada periode selanjutnya golongan-golongan tersebut akan berusaha
untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi (dari pencetakan uang baru atau
dari kredit yang lebih besar atau dari kenaikan gaji yang lebih besar).
Tentunya tidak semua golongan terut berhasil memperoleh tambahan dana yang
diinginkan. Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa
memperoleh bagian dari output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa
memperoleh dana akan memdapat bagian output yang lebih kecil. Yang termasuk
golongan yang “kalah” dalam proses perebutan ini adalah golongan-golongan yang
berpenghasilan tetap atau yang penghasilannya tidak naik secepat laju inflasi
(golongan-golongan ini antara lain termasuk kaum pensiunan, pegawai negeri,
para petani yang harus menjual hasilnya pada harga yang dikenakan stabilisasi
harga, para karyawan perusahaan yang tidak mempunyai serikat buruh atau yang
tidak mempunyai saluran yang efektif untuk memperjuangkan perbaikan nasib
mereka). Proses inflasi akan terus berlangsung selama jumlah permintaan efektif
dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan
masyarakat. Inflasi akan berhenti bila permintaan efektif total tidak melebihi,
pada tingkat harga yang berlaku, jumlah output yang tersedia.
Gambar 5.2 menunjukkan keadaan pada saat inflationary gap tetap
timbul. Di sini kita menganggap bahwa semua golongan masyarakat bisa memperoleh
dana yang cukup untuk membiayai, pada tingkat harga yang berlaku,
rencana-rencana pembelian mereka. Dengan timbulnya inflationary gap (misalnya,
pemerintah memperbesar pengeluarannya dengan jalan mencetak uang baru), kurva
permintaan efektif bergeser dari D1 ke D2. Inflationary
gap sebesar Q1Q2 timbul dan harga naik dari P1
ke P2. Kenaikan harga ini mengakibatkan rencana pembelian golongan
masyarakat (termasuk pemerintah sendiri) tidak terpenuhi.
Karena jumlah barang-barang yang tersedia tidak bisa lebih besar lagi
daripada OQ1, maka yang terjadi hanyalah realokasi barang-barang
yang tersedia dari golongan-golongan lain dalam masyarakat kepada sektor
pemerintah. Seandainya pada periode berikutnya golongan-golongan masyarakat
lain tersebut memperoleh dana untuk membiayai rencana-rencana pembeliannya yang
lama dengan harga-harga baru yang lebih tinggi, dan pemerintah tetap pula
berusaha memperoleh jumlah barang-barang seperti yang direncanakan pada periode
sebelumnya dengan harga-harga baru yang lebih tinggi (dan di sini perlu dicetak
lagi uang baru), maka inflationary gap sebesar Q1Q2
akan timbul lagi. Harga akan naik lagi dari P2 ke P3.
Kalau setiap golongan masyarakat tetap berusaha memperoleh jumlah barang-barang
yang sama dan mereka berhasil memperoleh dana untuk membiayai rencana-rencana
tersebut pada tingkat harga yang berlaku, maka inflationary gap akan
tetap timbul pada periode selanjutnya. Dalam hal ini harga-harga akan naik
terus-menerus.
(2). Inflationary gap akan berhenti dengan sendirinya.
Inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak
lagi (atau tiak bisa lagi) memperoleh dana untuk membiayai rencana pembelian
barang-barang pada harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat
secara keseluruhan tidak lagi melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (inflationary
gap hilang).
Perhatikan bahwa mereka yang “menang” dalam perebutan ini adalah mereka
yang paling mudah untuk memperoleh dana tambahan untuk membiayai rencana
pembelian mereka. Mereka yang tidak bisa dengan mudah memperoleh dana untuk
membiayai rencana pembelian barang mereka dengan harga-harga yang baru (yang
lebih tinggi) terpaksa harus menerima bagian yang lebih kecil dari
barang-barang yang tersedia daripada bagian mereka sebelum proses inflasi
terjadi. Secara umum mereka yang berpenghasilannya (dananya) tidak naik secepat
kenaikan harga-harga akan ketinggalan kereta dan harus menerima bagian
barang-barang yang semakin kecil.
Gambar 5.3 menunjukkan proses inflasi yang akhirnya berhenti karena inflationary
gap makin mengecil dan akhirnya hilang pada periode ke 5, pada saat itu
harga menjadi stabil pada P5. Di balik proses ini beberapa golongan
masyarakat menerima bagian output yang lebih kecil. Inflasi memang selalu
diikuti dengan adanya redistribusi pendapatan.
5.3.3. Teori Strukturalismengenai inflasi
Teori
strukturalis mengenai inflasi lahir atas dasar pengalaman di negara-negara
Amerika Latin. Teori ini memberikan tekanan pada ketegaran (figidities)
dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi
dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian (yang menurut
definisi, faktor-faktor ini hanya bisa disebut teori inflasi “jangka panjang”).
Dengan lain perkataan, yang dicari di sini adalah: faktor-faktor jangka panjang
manakah yang bisa mengakibatkan inflasi (yang berlangsung lama)? Menurut teori
ini, ada dua ketegaran utama dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang
yang bisa menimbulkan inflasi.
(1). Penerimaan ekspor tidak elastis. Ketegaran yang berupa “ketidak-elastisan” penerimaan ekspor, yaitu
nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan dengan pertumbuhan
sektor-sektor lain, juga menyebabkan timbulnya inflasi. Kelambanan tumbuhnya
nilai ekspor ini disebabkan alasan seperti berikut ini.
(a). Dasar
Penukaran (Terms of trade) memburuk.
Harga di pasar
dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan
(dibanding dengan harga barang-barang impor yang harus dibayar), atau sering
disebut dengan istilah bahwa dasar penukaran (terms of trade) makin
memburuk. Sering dianggap bahwa harga barang-barang hasil alam, yang merupakan
ekspor dari negara-negara sedang berkembang, dalam jangka panjang naik lebih
lambat daripada harga barang-barang industri, yang merupakan impor
negara-negara sedang berkembang,
(b). Produksi
Barang Ekspor tidak responsif
Suplly atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsif terhadap kenaikan
harga (supply barang-barang ekspor yang tidak elastis). Kelamban
pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti kelambanan kemampuan mengirim
barang-barang yang dibutuhkan (untuk konsumsi maupun investasi). Akibatnya,
negara tersebut (yang berusaha, sesuai rencana pembangunannya untuk mencapai
target pertumbuhan tertentu) terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang
menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri dari barang-barang yang
sebelumnya diimpor (import substitution strategy), meskipun seringkali
produksi dalam negeri ini mempunyai biaya produksi yang lebih tinggi (dan
sering pula dengan kualitas yang lebih rendah) daripada barang-barang yang
sejenis yang diimpor. Biaya produksi yang lebih tinggi ini mengakibatkan harga
yang lebih tinggi. Bila proses substitusi impor ini makin meluas, kenaikan
biaya produksi juga makin meluas ke berbagai barang (yang tadinya diimpor),
maka harga-harga barang semakin naik, otomatis terjadi inflasi.
(2). Produksi barang bahan makanan dalam negeri tidak
elasits. Ketegaran yang kedua berkaitan dengan
“ketidak-elastisan” dari supply atau produksi bahan makanan di
dalam negeri, juga menyebabkan timbulnya inflasi. Artinya, produksi bahan
makanan dalam negeri tidak tumbuh secepat pertambahan penduduk dan penghasilan
per kapita, sehingga bahan makanan di dalam negeri cenderung untuk menaik
melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbulnya
tuntutan dari para karyawan (di sektor industri) untuk memperoleh kenaikan
upah/gaji. Kenaikan upah berarti kenaikan ongkos produksi, yang berarti pula
kenaikan harga dari barang-barang tersebut. Kenaikan harga barang-barang
seterusnya mengakibatkan timbulnya kenaikan upah lagi. Kenaikan upah kemudian
diikuti oleh kenaikan harga-harga. Demikian seterusnya. Proses ini akan
berhenti dengan sendirinya seandainya harga bahan makanan tidak terus menaik.
Tetapi oleh karena faktor struktural tadi, harga bahan makanan akan terus
menaik, sehingga proses saling mendorong atau proses “spiral” antara harga dan
upah tersebut terus selalu mendapat “umpan” baru dan tidak berhenti.
Proses inflasi yang timbul karena kedua ketegaran tersebut dalam praktek
jelas tidak sendiri-sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling berkaitan dan
seringkali memperkuat satu sama lain. Misalnya, produksi bahan makanan dalam
negeri akan menimbulkan tekanan untuk mengimpor bahan makanan dan selanjutnya
membuat neraca pembayaran semakin parah. Selanjutnya mendorong proses
substitusi impor yang berlebihan, dan selanjutnya kenaikan harga-harga.
(3). Kesimpulan
teori Strukturalis.
Mengenai teori strukturalis ini tiga hal yang perlu dicatat sebagai
berikut.
(a). Teori ini
menerangkan proses inflasi jangka panjang di negara-negara yang sedang
berkembang.
(b). Di balik “cerita inflasi” ala strukturalis ini
ada asumsi (yang tidak disebutkan secara eksplisit) bahwa jumlah uang yang
beredar bertambah dan secara pasif mengikuti dan menampung kenaikan harga-harga
tersebut. Dengan lain perkataan, proses inflasi tersebut hanya bisa berlangsung
terus hanya apabila jumlah uang, proses tersebut akan berhenti dengan
sendirinya. Di sini, dan juga dalam teori inflasi Keynes, ternyata Teori
Kuantitas tetap berlaku, meskipun hanya di belakang layar.
(c). Tidak jarang faktor-faktor “struktural” yang dikatakan sebagai
penyebab yang paling dasar dari proses inflasi tersebut bukan 100%
“struktural”. Sering dijumpai bahwa ketegaran-ketegaran tersebut disebabkan
oleh kebijaksanaan harga/moneter pemerintah sendiri. Sebagai misal,
ketidakmampuan produksi bahan makanan dalam negeri untuk tumbuh mungkin sekali
disebabkan oleh harga bahan makanan di dalam negeri yang ditekan rendah
sehingga gairah berproduksi petani menurun. Sering pula dijumpai bahwa
ketidakmampuan produksi barang-barang ekspor untuk tumbuh disebabkan kurs
valuta asing ditekan terlalu rendah dengan maksud untuk menekan inflasi.
Seringkali pula ketidakelastisan ini disebabkan oleh adanya pungli-pungli,
sehingga harga barang-barang ekspor yang betul-betul diterima produsen rendah,
dan kurang cukup untuk menggairahkan produksi. (Apakah pungli-pungli ini kita
sebut faktor “struktural” atau bukan, itu masalah definisi saja.)
Inflasi juga
menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun.
Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga,
nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan
investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha
membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.Ketika
terjadi deflasi (penurunan nilai mata uang karena banyaknya uang yang beredar),
pemerintah menaikkan suku bunga bank, sehingga banyak orang menabung, dan
jumlah uang yang beredar di masyarakat berkurang. Sedangkan ketika terjadi
inflasi, pemerintah menurunkan suku bunga bank, sehingga banyak orang meminjam
uang ke bank untuk investasi.
No comments:
Post a Comment